Pola Kepribadian Individu – Elizabeth B. Hurlock
Membicarakan tentang
pola kepribadian, kita akan menjumpai berbagai teori yang sangat beragam.
Dengan merujuk pada tulisan yang dibuat oleh Depdiknas (2007), di bawah
ini akan diuraikan sekilas tentang pola kepribadian sebagaimana
disampaikan oleh Elizabeth B. Hurlock (1978) yang mengatakan bahwa pola
kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi yang terdiri
atas “self-concept”
sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan “traits” sebagai
struktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respon.
1. Self-concept (Concept of self )
Self-concept ini
dapat diartikan sebagai (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang
tentang dirinya sendiri; (b) kualitas penyikapan individu tentang dirinya
sendiri; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan
pandangan orang lain tentang dirinya.
Self-concept ini
memiliki tiga komponen, yaitu: (a) perceptual
atau physical self-concept, citra seseotang tentang penampilan
dirinya (kemenarikan tubuh atau bodinya), seperti: kecantikan, keindahan, atau
kemolekan tubuhnya; (b) conceptual
atau psychological self-concept, konsep seseorang tentang kemampuan
(keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta
meliputi kualitas penyesuaian hidupnya:
honesty, self-confidence, independence, dan courage; dan (c) attitudinal,
yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap
keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan,
kebanggaan, dan kepenghinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa,
komponen ketiga ini juga terkait dengan aspek-aspek: keyakinan, nilai-nilai,
idealita, aspirasi, dan komitmen terhadap way of life hidupnya.
Dilihat dari
jenisnya, Self-concept ini
terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
- The Basic Self-concept. Jane menyebutnya “real-self”, yaitu konsep seseorang tentang dirinya sebagaimana adanya. Jenis ini meliputi : persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.
- The Transitory Self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memiliki “self-concept” yang pada suatu saat dia, memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. “self-concept” ini mungkin menyenangkan tapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang lalu.
- The Social Self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika kepada seorang anak dikatakan secara terus-menerus bahwa dirinya “naughty” (nakal), maka dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri sosial seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial dimana dia hidup, baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild mengatakan bahwa apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru, dan teman) maka anak akan dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (signifant others) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.
- The Ideal Self-concept. Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep diri ideal ini terkait dengan citra fisik maupun psikhis. Pada masa anak terdapat diskrepansi yang cukup renggang antara konsep diri ideal dengan konsep diri yang lainnya. Namun diskrepansi itu dapat berkurang seiring dengan berkembangnya usia anak (terutama apabila seseorang sudah masuk usia dewasa).
Perkembangan self-concept dipengaruhi
oleh dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tertera pada gambar
berikut ini.
2. Traits (Sifat-sifat)
Traits ini berfungsi untuk mengintegrasikan kebiasaan, sikap,
dan keterampilan kepada pola-pola berpikir, merasa, dan bertindak. Sementara
konsep diri berfungsi untuk mengintegrasikan kapasitas-kapasitas psikologis dan
prakarsa-prakarsa kegiatan.
Traits dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian
yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif
konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Dapat diartikan
juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari
lingkungan.
Deskripsi dan
definisi traits di
atas menggambarkan bahwa traits merupakan
kecenderungan-kecenderungan yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi situasi dan
(b) mereaksi situasi dengan cara-cara tertentu.
Setiap traits mempunyai
tiga karakteristik: (a) Uniqueness,
kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness,
yaitu bahwa trait itu ada yang disenangi (liked)
dan ada yang tidak disenangi (disliked),
sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan atau ketidakharmonisan,
kepuasan atau ketidakpuasan orang yang mempunyai traits tersebut.
Traits yang disenangi seperti: jujur, murah hati, sabar, kasih sayang, peduli,
dan bertanggung jawab. Sedangkan yang tidak disenangi seperti: egois, tidak
sopan, ceroboh, pendendam, dan kejam/bengis. Sikap seseorang terhadap traits
ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency,
artinya bahwa seseorang itu diharapkan dapat berperilaku atau bertindak secara
ajeg.
Sama halnya dengan “self-concept”,
“traits”
pun dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan belajar. Faktor
yang paling mempengaruhi adalah (a) pola asuh orang tua, dan (b) imitasi anak
terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa traitdipelajari
secara “trial dan error”, artinya belajar anak lebih bersifat kebetulan,
seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak menangis
sambil membanting pintu kamarnya, gara-gara tidak dibelikan mainan yang
diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya
membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi
perbuatan tersebut. Demikian terjadi pada orang dewasa bersikap kurang percaya
kepada orang lain sehingga menunjukkan perilaku suka protes seperti “unjuk
rasa” sambil berperilaku brutal terhadap ketidakpuasan manajerial perusahaan
atau menuntut kenaikan gaji kepada perusahaan. Para pengunjuk rasa melakukan
aksi protes dengan cara brutal tersebut apabila pada akhirnya dipenuhi oleh
perusahaan maka cara-cara protes demikian akan diulang-ulang untuk
mengintimidasi para pengambil kebijakan.
Anak juga belajar
(memahami) bahwa traits atau
sifat-sifat dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua
kelompok budaya secara universal, seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak
orang lain, disiplin, tanggung jawab, dan sikap apresiatif.
============
Sumber:
Diambil dan adaptasi dari :
Direktorat Tenaga
Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Tahun. 2007. Pengembangan Kepribadian.(
materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah).
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar